Antara Hadist Shohih dan Hadist Dhoif

Jenis Hadist dan Kualitas Hadist dalam Agama Islam - Dilihat dari jumlah rawi hadits, maka hadits bisa dikategorikan menjadi dua macam , yaitu : Mutawâtir dan Ahad. Hadits Mutawâtir adalah hadits yang jumlah rawinya terdiri dari minimal empat (4) orang rawi setiap thabaqâtnya.Sementara hadits Ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak mencapai kepada derajat hadits mutawâtir.

Hadits ahad terbagi menjadi tiga (3) macam hadits, yaitu :Masyhûr, `Azǐz, dan Gharǐb. Hadits masyhûr adalah hadits yang jumlah rawinya lebih dari tiga (3) orang atau lebih setiap thabaqâtnya.Sementara hadits `Azǐz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua (2) orang rawi, walaupun dua orang rawi tersebut hanya terdapat dalam satu thabaqât saja.Sementara hadits Gharǐb adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin termasuk kepada hadits Ahad Masyhûr;.Karena jumlah rawi disetiap thabaqâtnya mencapai jumlah lebih dari tiga (3) orang sebagai syarat hadits ahad masyhûr.

Dilihat dari segi matan, jenis hadits bisa dilihat dari dua segi yaitu bentuk dan idlhâfah. Dari segi bentuknya hadits terbagi empat (4) macam yaitu :Qauli (berdasarkan pada ucapan Nabi saw), Fi`li (berdasar pada perbuatan nabi saw), Taqrǐri (berdasar pada diam atau setuju nabi saw terhadap satu hal/perkara), dan Hammi (berdasar pada sesuatu yang berhubungan dengan pribadi nabi saw). Maka berdasar pada pembagian hadits dari segi bentuknya, maka hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin termasuk hadits Qauli, hal ini berdasar pada kalimat `Qâla an-Nabiyyu saw lâ nikâha illâ biwaliyyin`.

Berdasar pada segi idhâfahnya (penyandaran) maka hadits terbagi menjadi empat (4) macam, yaitu :Hadits Qudsi (disandarkan kepada Allah SWT), Hadits Marfû` (disandarkan kepada Nabi saw), Hadits Mauqûf (disandarkan kepada sahabat), dan Hadits Maqthû` (disandarkan kepada tabi`in). Maka berdasar pada pembagian hadits dari segi idhâfahnya, hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin termasuk hadits Marfû` karena disandarkan kepada Nabi saw`, hal ini berdasar pada kalimat `Qâla an-Nabiyyu saw lâ nikâha illâ biwaliyyin`. Tapi dalam kitab Shâhih Bukhori termasuk kepada hadits mauqûf karena disandarkan kepada sahabat yaitu Siti Aisyah r.a. hal ini dibuktikan dengan kalimat anna `Aisyata akhbarathu ….

Kualitas Hadits

Melihat kualitas suatu hadits bisa dilihat dengan dua cara, yaitu : `tash-hǐh` melihat kualitas hadits dengan memperhatikan tiga hal : kualitas rawi, sanad, dan matan`. Suatu hadits itu dianggap sahih dari segi rawi yaitu apabila rawi-rawinya memenuhi dua (2) syarat, yaitu `adil dan dhabit (kuat) kuat dari segi hafalannya ataupun terhadap kitabnya, juga ketika ia harus mengungkapkannya kembali.

Suatu hadits dianggap sahih dari sanadnya apabila sanad-sanad dalam hadits tersebut bersambung antara yang satu dengan yang lainnya. Suatu sanad dikatakan bersambung apabila :

§Seluruh rawi dalam sanad tersebut benar-benar tsiqat.

§Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad tersebut benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara syah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadits.

Suatu hadits dianggap sahih dari segi matannya apabila ia tidak ber-`illat atau bebas dari cacat kesahihannya; dan hadits tersebut juga tidak syadz (janggal) yaitu tidak ada perlawanan/pertentangan dengan hadits maqbûl yang rawinya lebih kuat darinya; baik dari segi ke-dhabitannya, jumlah sanadnya atau dari segi tarjih yang lainnya.

Cara yang kedua untuk mengukur kualitas suatu hadits adalah dengan cara`itibâr. `Itibâr berarti mendapatkan informasi dan petunjuk dari literature, baik kitab yang asli, kitab syarah dan kitab fan yang memuat dalil-dalil hadits.

Maka kalau diteliti dengan menggunakan cara di atas, maka hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin dikategorikan sebagai hadits shahǐh. Dari segi rawi yang meriwayatkannya hadits ini diriwayatkan oleh orang-orang yang dhabit (kuat) hafalan, terpercaya, dan memiliki sifat-sifat mulia yang lainnya, sebagaimana telah tercantum pada tabel terdahulu (Nama rawi sanad).

Dari segi ketersambungan sanadnya hadits ini digolongkan kepada hadits muttashil karena ketersambungan para rawinya, mulai dari sahabat, tabi`in, tabi`u tabi`in, tabi`u atba` dan ahli hadits. Sementara dilihat dari keadaan sanadnya hadits ini disebut dengan hadits Nâzil Mu`an`an, karena jumlah rawi yang lebih dari tiga per thabaqâh, serta terdapat kata `an dalam sanadnya.

Dari segi matannya, maka hadits ini tidak menunjukkan adanya `illat ataupun syadz bertentangan dengan ayat al-Qur`an ataupun hadits yang lainnya.

Sementara dari metode `Itibâr berkaitan dengan hadits lâ nikâha illâ biwaliyyin dalam kitab Jâmi`u ash-Shâgir disebutkan bahwa Ibnu Abbas menyebutkan hadits ini yang bersumber dari Abu Musa semuanya adalah Shahih.Sementara dalam kitab Bulughul Marâm dijelaskan bahwa Ibnu al-Madǐni, at-Tirmidzǐ dan Ibnu Hibbân men-shahihkan hadits ini.

0 Response to "Antara Hadist Shohih dan Hadist Dhoif"

Posting Komentar