PEMBAHASAN PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM HIBAH

1.1   Pengertian Hibah
Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba. Wahaba artinya memberi, menurut istilah hibah adalah pemilikan sesuatu benda melalui transaksi (aqad) tanpa mengharapkan imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup.
Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Sedangkan Sulaiman Rasyid mendefinisikan bahwa hibah adalah memberikan zat dengan tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya.
Dalam rumusan kompilasi, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki (KHI ps 171 huruf g)
Di dalam syara, hibah berarti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia hidup, tanpa adanya imbalan. (Sayyid Sabiq, 1987:174)
 Menurut Hukum Islam, hibah merupakan pemindahan hak dan hak milik dari sejumlah kekayaan. (Abdul Dzamali, 1992: 172)
 Hibah adalah pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau untuk kepentingan sesuatu badan sosial, keagamaan, ilmiah juga kepada seseorang yang berhak menjadi ahli warisnya.
(Mohammad Daud Ali, 1988:24)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia).

1.2   Dasar Hukum
a.   Alquran
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS.Al-baqoroh:262)
b.    Hadits
 Dasar hukum hibah ini dapat kita pedomani hadits Nabi Muhammad SAW antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits Khalid bin 'Adi, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya sebagai berikut :
م "Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena ia adalah rezeki yang diberi Allah kepadanya".
1.3   Rukun-rukun Hibah
 Rukun hibah yang harus ada supaya pemberian itu menjadi sah. Diantaranya rukun-rukun itu adalah:
  • Pemberi hibah adalah pemiliki sah barang yang dihibahkan dan pada waktu pemberian itu dilakukan berada dalam keadaan sehat, baik jasmani maupun rohani
  • Penerima hibah adalah setiap orang, baik perorangan maupun badan hukum
  • Perbuatan menghibahkan ini diiringi dengan ijab qabul, yakni serah terima antara pemberi dengan penerima
  • Benda yang dihibahkan terdiri dari segala macam barang baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Bahkan manfaat atau hasil sesuatu barang dapat dihibahkan. (Mohammad Daud Ali, 1988:26)
1.4   Syarat-syarat Hibah
 Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu hibah sah adalah :
1.     Syarat-syarat bagi penghibah
a.     Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.
b.     Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan
c.     Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).
d.     Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah. (Mohammad Daud Ali, 1988)
2.   Syarat-syarat penerima hibah
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah, walau bagaimanapun kondisi fisik dan keadaan mentalnya.
Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.
1.     Syarat-syarat benda yang dihibahkan
a.     Benda tersebut benar-benar ada;
b.     Benda tersebut mempunyai nilai;
c.     Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan;
Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah. (Dzamali Abdul. 1992:54)

Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini ijab kabul dapat dalam bentuk lisan atau tulisan.
Menurut beberapa ahli hukum Islam bahwa ijab tersebut haruslah diikuti dengan kabul, misalnya : si penghibah berkata : "Aku hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si penerima hibah menjawab : "Aku terima hibahmu".
Sedangkan Hanafi berpendapat ijab saja sudah cukup tanpa harus diikuti oleh kabul, dengan pernyataan lain hanya berbentuk pernyataan sepihak.
Adapun menyangkut pelaksanaan hibah menurut ketentuan syari'at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.     Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.
2.     Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan.
3.     Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali oleh si pemberi hibah.
Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi (hukumnya sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari persengketaan dikemudian hari. (Sayyid Sabiq, 1987:176)

1.5   Hubungan  Hibah dengan Waris
Hibah yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya, kelak dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, apabila orang tuanya meninggal dunia (pasal 211). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pemberian hibah dapat diperhitungkan sebagian warisan, di satu sisi hukum waris islam dilaksanakan, namun realisasinya telah ditempuh cara hibah. Justru sebelum si pewaris meninggal bukanlah sesuatu yang aneh jika pembagian harta waris dilakukan akan menimbulkan penderitaan pihak tertentu, lebih-lebih apabila penyelesaiannya dalam hukum gugatan di pengadilan.
Kadang-kadang hibah diberikan kepada sebagian ahli waris diikuti dengan perjanjian bahwa apabila ia sudah menerima hibah dalam jumlah tertentu, maka ia berjanji akan meminta bagian warisan kelak jika sipemberi hibah meninggal.
Takharuj adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik prestasi tersebut berasal dari harta milik orang yang pada mengundurkannya, maupun barasal dari harta peninggalan yang akan dibagi-bagi. Takharuj merupakan transaksi antara dua pihak atau lebih, satu pihak menyerahkan sesuatu bagian pihak lain dan pihak lain menyerahkan bagiannya sebagai tegenprestasi  kepada pihak pertama.
Dalam persaksian hibah harus terdapat persaksian yaitu dua orang saksi dan dibuktikan dengan bukti otentik. Ini dimaksudkan agar kelak dikemudian hari ketika sipemberi hibah meninggal dunia, tidak ada anggota keluarga atau ahli warisnya mempersoalkan karena itikad yang kurang atau tidak terpuji. Dalam hukum waris terdapat pembatasan bahwa hibah tidak boleh melanggar hak mutlak (legitieme portie) yang dimiliki oleh ahli waris dalam garis keturunan. Apabila hibah melanggar hak mutlak ahli waris, maka dilakukan pemotongan (inkorting) sampai batas yang dimiliki ahli waris tersebut.
Hibah yang diberikan pada saat si penghibah dalam keadaan sakit yang membawa kematian, maka hibah tersebut harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya (pasal 213).
1.6   Penarikan Hibah
 Penarikan kembali atas hibah adalah merupakan perbuatan yang diharamkan meskipun hibah itu terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami isteri. Adapun hibah yang boleh ditarik hanyalah hibah yang dilakukan atau diberikan orang tua kepada anak-anaknya.
Dasar hukum ketentuan ini dapat ditemukan dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An- Nasa'i, Ibnu Majjah dan At-tarmidzi yang artinya berbunyi sebagai berikut :
لايحل لرجل أن يعطى عتية أو يهب هبة فيرجع فيها إلا الوالدفيما يعطى ولده ومثل الزى يعطى العتية ثم يرجع فيهاكمثل الكلب يأكل فإذاشبع قاء ثم عادفى قيئه
"Dari Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : "Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali hibah itu dihibahkan dari orang tua[1]kepada anaknya[2]. Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntah itu kembali.
Hadits diatas dengan sangat kongkret menjelaskan bahwa orang yang menarik kembali sedekahnya, atau hibahnya, pemberian yang lain, adalah ibarat anjing yang memakan kembali muntah yang telah dikeluarkannya. Dengan kata lain status hukum barang yang telah dihibahkannya pada orang lain telah diharamkan menjadi miliknya kembali karena tidak lagi menjadi haknya.     
Selain itu pasal 213 kompilasi juga dengan sangat tegas menyatakan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya. Hadits-hadits yang menjelaskan menarik kembali hibahnya, menunjukan keharaman penarikan kembali hibah atau sadaqoh yang lain yang telah diberikan kepada orang lain.).
 Hadits diatas dengan sangat kongkret menjelaskan bahwa orang yang menarik kembali sedekahnya, atau hibahnya, pemberian yang lain, adalah ibarat anjing yang memakan kembali muntah yang telah dikeluarkannya. Dengan kata lain status hukum barang yang telah dihibahkannya pada orang lain telah diharamkan menjadi miliknya kembali karena tidak lagi menjadi haknya.    


[1] Ibu itu hukumya seperti ayah menurut sebagian besar ulama
[2] Baik anak itu sudah besar maupun masih kecil

0 Response to "PEMBAHASAN PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM HIBAH "

Posting Komentar