Pengertian Rukun dan Syarat Hibah atau Hadiah

Pengertian Rukun dan Syarat Hibah atau HadiahIbn Rusyd dalamBidayahal-Mujtahid mengatakan bahwa rukun hibah ada tiga, yaitu:[1]
1.     Orang yang menghibahkan (al-wahib).
2.     Orang yang menerima hibah (al-mauhublah).
3.     Pemberiannya (al-hibah).

Sedangkan, Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah mengatakan Hibah dilakukan dengan ijab dan qabul, dengan perkataan yang menunjukan adanya proses pemberian suatu barang tanpa penukar.[2]


Syarat-syaratnya:
1.     Orang yang menghibahkan
a.     Pemilik sah dari harta benda yang dihibahkan.
b.     Dalam keadaan sehat
c.     Memiliki kebebasan untuk menghibahkan bendanya itu.

Apabila orang yang menghibahkan dalam keadaan sakit, hibahnya dibatasi 1/3 saja dari bendanya itu. Riwayat ‘Imran bin Husain menjelaskan tindakan nabi SAW.


Artinya:

Ketika (Imran ibn Husain) memerdekakan enam orang hamba dalam saat menjelang kematiannya, maka Rasulullah SAW. Memerintahkan (agar dimerdekakan 1/3nya saja). Maka ia memerdekakan 1/3 nya, dan menetapkan sebagai hamba yang lainnya.
Terhadap hadits ini, memang kontropersial. Mayoritas ulama menetapkan hadis tersebut sebagai dasar hibah, karena itu jika orang yang menghibahkan dalam keadaan sakit, maka hibah yang diberikan paling banyak 1/3 hartanya.
Ulama ahli zahir memahami hadis tersebut sebagai dasar hukum wasiat. Karena itu, hibah tak ada batasan yang tegas. Dalam kompilasi, dijelaskan pasal 210 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki.[3]

2.     Benda yang dihibahkan

dalam kompilasi hukum islam pasal 210 ayat (2) menyatakan bahwa “harta benda yang dihibahkanharus merupakan hak dari penghibah”. Jadi menghibahkan yang dimilki orang lain, tida sah hukumnya. Dalm hal ini dapat dibedakan kepada dua hal, jika hubah itu diberikan kpada orang lain atau suatu badan , maka mayoritas ulam sepakat tidak adanya batasan. Namun apabila hibah itu anak-anak pemberi hibah, menurut malik, boleh membedakan pemberian hibah kepada anak-anaknya. Madzhab ahli zahir tidak membolehkan. Sementara ulama lainnya , fuqaha’Asmar, menyatakan makruh. Namun tindakan Rasulullah SAW. Sehubungan dengan kasus Nu’man ibn Basyir menunjukan bahwa hibah orangtua kepada anaknya, harus disamakan.

Sedangakn menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah syarat barang yang dihibahkan adalah sabegai berikut:

a)    Barangnya benar-benar ada
b)    Merupakan harta yang memiliki nilai
c)     Bisa dimiliki
d)    Tidak menempel dengan harta orang yang berhibah secara tetap, seperti tanaman, pohon, dan bangunan tanpa tanah.
e)    Merupakan milik pribadi.

3.     Orang yang menerima hibah

Pada dasarnya setiap orang yang memilii kecakapan melakukan perbuatan hukum daapat menerima hibah. Bahkan dapat ditambahkan disini, anak-ana atau mereka yang berada dibawah kuratele (pengmpuan) dapat menerima hibah melelui kuasa (wali)nya.
Adapun syarat-syarat hibah , selain yang mengikiuti rukun-rukun hibah tersebut, para ulama menyebutkan syarat utama adalah Penerimaan (al-Qabd). Menurut imam Al-syafi’i dan abu hanifah, penerimaan merupakan syarat sah hibah. Karena itu jika pemberian hibah tidak disertai pernyataan menerima, maka tidak sah hibahnya itu. Namun menurut Ahmad Ibn Hanbal, dan Ahli Zahir, hibah sah hukumnya dengan akad dan peneimaan tidak termasuk syarat.[4]

Sayyid Sabiq dalam fiqih Sunnah (2009:480), mengatakan orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada ketika hibah diberikan.

Kemudian didalam hukum islam hibah menjadi sah apabila telah memenuhi bebberapa syarat yakni: ijab, qabul, dan qabda.

Pengertian secara jelasnya mengenai ketiga syarat sahnya hiibah tersebut akan lebih jelas apabila diberi penjelasan singkat, yakni:

1.     Ijab ialah pernyataan yang dilakukan oleh pihak yang memberi hibah mengenai pemberian tersebut.
2.     Qabul ialah penerimaan pemberian oleh pihak yang dihibahi baik penerimaan tersebut dilakukan secara jelas tegas maupun secara samar-samar.
3.     Qabda ialah penyerahan milik yang dilakukan oleh penghibah kepada yang dihibahi.[5]

KESIMPULAN

Ø  Rukun Hibah ada tiga, yaitu:
1.     Orang yang menghibahkan (al-wahib).
2.     Orang yang menerima hibah (al-mauhublah).
3.     Pemberiannya (al-hibah)

Adapun menurut Sayyid Sabiq Hibah dilakukan dengan ijab dan qabul, dengan perkataan yang menunjukan adanya proses pemberian suatu barang tanpa penukar.


Ø  Syarat-syaratnya:

1.     Orang yang menghibahkan
a.     pemilik sah dari harta benda yang dihibahkan.
b.     Dalam keadaan sehat
c.     Memiliki kebebasan untuk menghibahkan bendanya itu

Benda yang dihibahkan, 
dalam kompilasi hukum islam pasal 210 ayat (2) menyatakan bahwa “harta benda yang dihibahkanharus merupakan hak dari penghibah”.

Sedangakn menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah syarat barang yang dihibahkan adalah sabegai berikut:


a)    Barangnya benar-benar ada

b)    Merupakan harta yang memiliki nilai
c)     Bisa dimiliki
d)    Tidak menempel dengan harta orang yang berhibah secara tetap, seperti tanaman, pohon, dan bangunan tanpa tanah.
e)    Merupakan milik pribadi.

3.     Orang yang menerima hibah

orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada ketika hibah diberikan.

[1] Ibn Rusyd, Bidayah al-mujtahid, juz 2 Semarang: usaha keluarga, tt,.

[2]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, sub judul Rukun Hibah, hal.480
[3] KHI pasal 210 hlm 65.
[4] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cetakan ketiga PT Raja Grafindo Persada: hlm 471
[5] Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, cetakan pertama, Hlm 373

0 Response to "Pengertian Rukun dan Syarat Hibah atau Hadiah"

Posting Komentar